Berapa Tahun Hukuman Judi Togel Di Indonesia

Berapa Tahun Hukuman Judi Togel Di Indonesia

Pelaku Judi Online Dapat Diancam Hukuman 6 Tahun Penjara

Kemudahan akses internet menjadi salah satu faktor penyebab maraknya peredaran judi online di Indonesia. Minimnya upaya preventif yang dilakukan pemerintah ikut mendorong semakin suburnya praktik judi online yang dapat merusak sendi kehidupan masyarakat. Secara hukum, judi dalam medium apapun adalah dilarang. Namun meski dilarang, praktik judi ini masih marak dilakukan. Bahkan cara judi online saat ini sudah semakin beragam. Sebut saja judi online 24 jam slot, togel, poker, judi bola, dan lain sebagainya.

Tidak jarang, situs-situs tersebut memasang iklan berbayar di situs mesin pencari secara terang-terangan. Praktik ini turut didukung oleh penyalahgunaan fasilitas perbankan. Kemudahan akses fasilitas perbankan sudah disalahgunakan para pelaku judi ini untuk melakukan transaksi.

Di Indonesia ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang dapat menjerat para pelaku praktik judi berbasis online ini, seperti yang diatur dalam Pasal 303 dan Pasal 303 BIS Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana). Selanjutnya, hukum tentang judi berbasis online secara spesifik diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan perubahannya.

Dalam ketentuan Pasal 303 ayat (1) KUHP para pelaku judi ini dapat diancam pidana penjara minimal 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp.25 juta. Kemudian, ketentuan Pasal 303 bis ayat (1) KUHP mengatur ancaman hukuman pidana penjara maksimal 4 tahun atau denda paling maksimal Rp.10 juta.

Berdasarkan Pasal 303 ayat (3) KUHP, judi adalah tiap-tiap permainan yang umumnya terdapat kemungkinan untuk untung karena adanya peruntungan atau karena pemainnya mahir dan sudah terlatih. Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 222), orang yang mengadakan main judi dihukum menurut Pasal 303 KUHP, sementara orang-orang yang ikut pada permainan itu dikenakan hukuman menurut Pasal 303 bis KUHP.

Selanjutnya, perjudian yang dilakukan secara online di internet diatur dalam Pasal 27 ayat (2) jo Pasal 45 ayat 2 UU ITE mengancam pihak yang secara sengaja mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya judi ini di dunia maya, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.

Baca Juga: Aspek Hukum Dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi

Tubagus Muhammad Joddy divonis hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp10 juta lantaran terbukti bersalah dalam kasus kecelakaan maut yang menewaskan Vanessa Angel dan suaminya Febri Ardiansyah.

Vonis dibacakan kepada Joddy oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri Jombang pada hari ini, Senin (11/4). Diketahui, Joddy adalah orang yang mengendarai mobil saat kecelakaan terjadi.

"Mengadili, menjatuhkan pidana selama 5 tahun penjara, dan denda Rp10 juta. Jika (denda) tidak dibayar maka diganti dengan hukuman pidana kurungan selama 2 bulan," kata Ketua Majelis Hakim Bambang Setyawan, Senin (11/4).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menghendaki Joddy diberi hukuman 7 tahun penjara.

Hakim Bambang menyebut terdakwa Joddy terbukti bersalah sebagaimana dalam dakwaan kedua, yakni pasal 310 ayat 4 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan no 22 tahun 2009.

Hal yang memberatkan hingga terdakwa diberi vonis tersebut yakni karena telah membuat seorang anak menjadi yatim piatu. Perbuatan terdakwa juga dianggap telah meresahkan masyarakat.

"Sedangkan hal yang meringankan antara lain, terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya, belum pernah dihukum, keluarga korban telah memaafkan terdakwa," ucap dia.

Joddy belum memutuskan untuk mengajukan banding atas vonis yang diberikan hakim. Dia masih pikir-pikir. Demikian juga dengan kuasa hukum dan jaksa yang masih pikir-pikir.

"Pikir-pikir yang mulia," ujar Joddy singkat.

Vanessa Angel dan suaminya Febri Ardiansyah (Bibi) tewas dalam kecelakaan tunggal di Tol Jombang-Mojokerto, KM 672.400, Kamis 4 November 2021 lalu. Mobil yang dinaiki Vanessa itu dikendarai oleh Tubagus Muhammad Joddy.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jombang, Adi Prasetyo, mendakwa Joddy dengan sejumlah alternatif dakwaan. Pertama yakni Pasal 311 ayat 5 UU No 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, dan kedua didakwa dengan dakwaan pasal 311 ayat 3 UU RI nomor 23 thn 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.

Kemudian kedua pasal 310 ayat 4 UU RI nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, dan kedua melanggar pasal 310 ayat 3 UU RI nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan

Jaksa lalu menuntut Joddy dengan hukuman 7 tahun penjara. Jaksa menilai Joddy telah lalai dalam berkendara, hingga menyebabkan adanya korban jiwa.

Dalam tuntutannya, jaksa menilai Joddy terbukti atas dakwaan alternatif kedua, melanggar pasal 310 ayat 4, dan pasal 310 ayat 2 Undang Undang nomor 22 tahun 2009 tantang lalu lintas dan angkutan jalan.

Terjadi kesalahan. Tunggu sebentar dan coba lagi.

Setelah melalui pembahasan puluhan tahun, RKUHP disahkan oleh DPR jadi UU pada Selasa (6/12) kemarin. Ada pasal baru, ada juga pasal yang dipertahankan. Salah satunya pasal judi, yang tetap dipertahankan, namun hukumannya diturunkan, dari 10 tahun menjadi 9 tahun bui.

Berdasarkan KUHP yang masih berlaku, perjudian diatur dalam Pasal 303 KUHP dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara. Bunyi lengkapnya yaitu:

(1). Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu;

2. dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara;

3. menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian.

(2). Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.

(3). Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.

Nah, oleh KUHP baru, ancaman hukuman pelaku judi disunat menjadi maksimal 9 tahun penjara. Hal itu diatur Pasal 426 KUHP baru:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI, Setiap Orang yang tanpa izin:

a. menawarkan atau memberi kesempatan untuk main judi dan menjadikan sebagai mata pencaharian atau turut serta dalam perusahaan perjudian;

b. menawarkan atau memberi kesempatan kepada umum untuk main judi atau turut serta dalam perusahaan perjudian, terlepas dari ada tidaknya suatu syarat atau tata cara yang harus dipenuhi untuk menggunakan kesempatan tersebut; atau

c. menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian. Untuk diketahui, RKUHP itu disahkan setelah disetujui oleh seluruh fraksi, kemarin.

"Apakah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dapat disahkan menjadi undang-undang?" ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di DPR, Selasa (6/12/2022).

"Setuju," jawab peserta rapat paripurna DPR RI.

Simak Video 'Pengesahan RKUHP yang Diwarnai Interupsi dan Aksi Protes':

[Gambas:Video 20detik]

SKOR.id - Berapa tahun hukuman penjara streamer atau siapapun yang mempromosikan judi online?

Akhir-akhir ini sedang ramai dibahas di sosial media soal para streamer khususnya dari gim Mobile Legends yang mempromosikan judi online.

Beberapa dari mereka memang tak mempromosikan secara langsung, tetapi mendapat saweran alias donasi dari situs judi online tersebut.

Masalahnya, dengan donasi yang begitu besar, nama situs judi online ini akan terpampang jelas dan bahkan kadang dibacakan oleh streamer tersebut.

Hal ini menjadi masalah karena judi online dilarang di Indonesia, selain itu kebanyakan yang menonton streaming Mobile Legends ini adalah anak-anak di bawah umur.

Hal ini kini sudah ditangani Kemenkominfo, seperti diungkapkan oleh Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Dirjen Aptika) Kemenkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan.

"Sedang diinvestigasi, karena live streaming. Kami lagi kumpulkan barang buktinya," ujar Samuel kepada Kumparan.

"Kami juga dengan penyidik di bawah koordinasi kepolisian. Dari hasil investigasi, kami akan berkoordinasi dengan kepolisian, dalam hal ini cyber crime. Sudah kami mintakan ke YouTube (untuk disuspend akunnya). Dan saat ini kami lagi investigasi pelakunya."

Jika benar terbukti promosi judi online, berapa tahun atau berapa denda yang akan didapatkan oleh para streamer ini?

Merujuk ke situs Kominfo, ada beberapa pasal yang bisa dijeratkan kepada pelaku promosi judi online, untuk siapapun tak terbatas pada para streamer gim.

Tindak pidana judi online diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU ITE. Sedangkan perjudian secara umum diatur dalam Pasal 303 KUHP.

Dalam UU ITE, setiap orang yang mempromosikan judi online dapat dianggap sebagai pelaku yang menyalurkan muatan perjudian. Mereka dapat dikenakan hukuman pidana penjara paling lama enam tahun atau denda terbanyak Rp1 miliar.

Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU ITE, isinya mempidanakan setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, membuat bisa diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang bermuatan perjudian.

Sedangkan dalam KUHP Pasal 303 ayat (1), mengatur perjudian dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah.

Sebelumnya, sudah pernah ada selebgram dan influencer yang ditangkap karena melakukan stream untuk menggaet pemain judi online dan diproses pihak kepolisian.

Hukuman mati adalah salah satu hukum yang diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2014[1]. Hukuman ini berlaku untuk kasus Pembunuhan terencana, korupsi, terorisme, Narkoba, dan perdagangan obat-obatan terlarang[2]. Eksekusi Hukuman mati tersebut dilakukan oleh regu tembak Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan peraturan Kapolri Nomor 12 tahun 2010 yang berasal dari Korps Brigade Mobil atau Brimob, terutama karena kejahatan terkait pemakai dan pengedar Narkoba serta Korupsi[1][3].

Hukuman mati akan dilaksanakan setelah permohonan grasi tersangka ditolak oleh pengadilan, dan juga adanya pertimbangan grasi oleh presiden. Di Republik Indonesia sejak Desember tahun 2014 dilaporkan bahwa Presiden Indonesia tidak memberikan grasi kepada yang telah dijatuhi hukuman mati dan hukuman seumur hidup karena kejahatan.

Tersangka dan anggota keluarga dari tersangka akan diberitahukan mengenai hukuman mati dalam waktu 72 jam sebelum eksekusi.[4] Biasanya, pelaksanaan hukuman mati dilakukan di Nusakambangan.[4] Para terpidana akan dibangunkan di tengah malam dan dibawa ke lokasi yang jauh (dan dirahasiakan) untuk dilakukan eksekusi oleh regu tembak, metode ini tidak diubah sejak tahun 1964.[5][6]

Terpidana akan ditutup matanya lalu diposisikan di daerah berumput, juga diberikan pilihan kepada Terpidana untuk duduk atau berdiri.[5] Tentara menembak jantung Terpidana dari jarak 5 hingga 10 meter, hanya 3 senjata yang berisi perluru dan sisanya tidak sama sekali.[5] Jika Terpidana tidak tewas, maka diizinkan untuk menembak Terpidana di kepalanya dengan izin dari komandan regu tembak.[7]

Eksekusi hukuman mati pertama di Indonesia yang tercatat oleh data Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) dijatuhi kepada Oesin, yang merupakan pedagang kambing dan tukang jagal di Kota Mojokerto. Ia dieksekusi mati karena melakukan pembunuhan terhadap enam rekan bisnisnya pada tahun 1964. Oesin dieksekusi mati pada 14 September 1979.[8] Berdasarkan data dari Institute for Criminal Justice Reform atau disingkat ICJR menyebutkan bahwa jumlah kasus hukuman mati hingga Oktober 2020 mencapai 173 kasus, dengan total 210 Terrpidana. Data ini meningkat dibandingkan dengan tahun lalu, di bulan Oktober 2018 hingga bulan Oktober 2019 tercatat 126 kasus, dengan total 135 jumlah Terpidana. Kasus-kasus tersebut dibagi dalam beberapa rincian yaitu:

1) Kasus narkotika dengan jumlah kasus 149 (86%);

2) Kasus pembunuhan yang direncanakan 23 kasus (13%); dan

3) Kasus terorisme memiliki jumlah kasus sebanyak 1 kasus (1%).[9]

Di Indonesia untuk menentukan sanksi terhadap sebuah kejahatan dan pelanggaran diatur dalam hukum pidana. Tujuan dari hukum pidana tersebut yaitu agar seseorang yang berbuat kejahatan mendapat hukuman yang adil, dan berharap agar pelaku kejahatan tersebut tidak mengulangi kejahatannya kembali.[10] Salah satu hukum pidana juga mengatur menganai tentang hukuman mati di dalamnya. Hukuman mati termasuk ke dalam hukuman pokok, apabila dilihat dari jenis hukum positif di Indonesia. Jenis-jenis kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati di Indonesia di antaranya:

Tahun 1948, penangkapan Amir Sjarifuddin membuah gaduh dunia politik di Indonesia. Amir Sjarifuddin merupakan tokoh politik sekaligus mantan menteri pertahanan dan perdana menteri. Dia ditangkap dengan alasan terlibat dalam Peristiwa Madiun, yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di bulan Desember, Amir Syarifuddin dieksekusi mati di Ngalihan, Solo. Tahun 1946, Tan Malaka ditangkap karena mengikuti pertemuan dengan pimpinan Pesatuan Perjuangan. Ketika Peristiwa Madiun terjadi, Tan Malaka dibebaskan. Bulan Februari, 1949 Tan Malaka menghilang. Lima puluh tahun dari kejadian tersebut, seorang peneliti bernama Harry Poeze mengungkapkan bahwa Tan Malaka dibunuh oleh seorang Letnan Dua bernana Sukutjo atas inisiatif pribadi.[4]

Dua kejadian di atas menyimpulkan pada periode ini ada beberapa eksekusi mati yang dipraktikkan di Indonesia tanpa persidangan. Pemerintah pada saat itu belum solid, ketika pengambilan keputusan. Hasil penyelidikan yang panjang, melahirkan kesimpulan bahwa para eksekutor hukuman mati melakukannya atas inisiatif pribadi, dan didukung oleh kepentingan politik. Pada tahun 1973 – 1981, pemerintahan dipimpin oleh Soeharto. Saat itu Indonesia sedang fokus dalam pengembangan perekonomian. Namun, pada saat itu tingkat kriminalitas semakin tinggi. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik yaitu kasus Sengkon dan Karta, pada tahun 1974. Kasus ini bermula dari perampokan dan pembunuhan pasangan Sulaiman dan Siti di Desa Bojongsari, Bekasi. Polisi menetapkan Karta dan Sengkon sebagai tersangka. Mereka memang tidak mengakui bahwa mereka yang telah melakukan perampokan dan pembunuhan tersebut. Namun, setelah polisi memberi tekanan terhadap mereka, akhirnya mereka mau untuk menandatangani berita acara penangkapan tersebut. Hal mengejutkan terjadi, ada seseorang yang bernama Genul yang mengaku telah membunuh Sulaiman dan Siti. Akhirnya, Genul dijatuhi hukuman 12 tahun kurungan penjara. Hal yang menjadi aneh adalah, meskipun pelaku sebenarnya sudah ditangkap, Sengkon dan Karta tidak langsung dibebaskan dan tetap menjalankan kurungan penjara. Pada periode ini, pemerintah belum mampu menghadapi kasus kriminalitas yang terjadi. Oleh karena itu untuk menekan angka kriminalitas pemerintah membuat jalan pintas dengan cara Hukuman mati tanpa pengadilan.[4]

Kasus penembakan misterius (Petrus) dilakukan oleh aparat keamanan ditahun 1982-1985. Eksekusi mati ini dilakukan kepada mereka yang dituduh pelaku kriminal. Usaha ini menimbulkan beberapa ketidakjelasan dalam penentuan indetitas kriminal tersebut. Selain itu, ada beberapa yang menyebabkan kesalahan eksekusi. Pada tahun 2012 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Tim Ad Hoc untuk melakukan penyelidikan untuk kasus penembakan misterius (Petrus) ini. Hasilnya, kegiatan Petrus ini tergolong dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia tingkat berat.[4]

Indonesia mengakhiri moratorium hukuman mati yang berlangsung selama 4 tahun, dengan dilaksanakannya hukuman mati kepada Adami Wilson (kewarganegaraan Malawi) pada 14 Maret 2013.[19]

Daftar eksekusi di Indonesia selama dan Sejarah Indonesia (1998-sekarang):[20][21]

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tercatat sering kali melakukan protes atas praktik hukuman mati di Indonesia. Juru Bicara Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Rupert Colville menyampaikan kekecewaannya saat Indonesia melaksanakan eksekusi mati pada tanggal 29 April 2015 karena "Indonesia tegas memberlakukan eksekusi mati bagi pelaku tindak kejahatan narkoba, di sisi lain RI turut mengajukan permohonan agar warganya yang terancam hukuman mati bisa diselamatkan".[24] Menjelang rencana pemerintah untuk melakukan eksekusi mati pada tanggal 29 Juli 2016, eksekusi ketiga di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo,[25] Kepala HAM PBB Zeid Ra'ad al-Hussein meminta pemerintah Indonesia untuk menghentikan hukuman mati terhadap terpidana kasus perdagangan narkotika karena "meningkatnya pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sangat mengkhawatirkan" dan "tidak adil bagi hak asasi manusia".[26]

Sehubungan dengan rencana eksekusi tanggal 29 Juli 2016, Uni Eropa dalam keterangan tertulisnya juga meminta pemerintah Indonesia untuk menghentikan eksekusi mati terhadap 14 terpidana yang akan dieksekusi dan meminta Indonesia untuk bergabung dengan sekitar 140 negara lain yang telah sepenuhnya menghapuskan praktik eksekusi mati. Menurut keterangan tertulis tersebut, "Hukuman mati merupakan pidana yang kejam dan tidak manusiawi, yang tidak menimbulkan efek jera terhadap tindak kejahatan, serta merendahkan martabat manusia."[27] Rafendi Djamin, Direktur Amnesty International untuk Asia Tenggara dan Pasifik, menyampaikan bahwa, "Jokowi tidak seharusnya menjadi algojo terproduktif dalam sejarah Indonesia belakangan ini."[25] Sementara Ken Matahari, Staf Amnesty International di Sydney, menyatakan argumennya untuk mendukung penghapusan mati di Indonesia sembari membandingkan Singapura yang masih menerapkan hukuman mati dengan Hongkong yang telah menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1983. Ia menyampaikan penelitian dari Universitas Hawaii tahun 2010 yang menyatakan bahwa kedua negara tersebut, yang sangat memiliki kemiripan dalam banyak hal, memiliki tingkat pembunuhan yang sangat serupa.[2]

Praktik hukuman mati di Indonesia juga sering mendapat kecaman dari negara-negara lain, khususnya negara-negara di Eropa.[28] Beberapa negara yang pernah menentang praktik eksekusi mati di Indonesia misalnya Belanda,[28] Inggris,[29] Australia, dan Brasil.[30] Terkait rencana eksekusi mati yang akan dilaksanakan pemerintah pada tanggal 29 Juli 2016, Inggris menyampaikan kekecewaan tambahan karena menerima laporan yang menyatakan bahwa empat terpidana yang akan dieksekusi sebelumnya telah "disiksa dan mengalami kelalaian peradilan".[29]

Beragam tokoh politik maupun praktisi masyarakat menyuarakan ketidaksetujuannya atas praktik hukuman mati di Indonesia. Presiden RI ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie dengan tegas menyatakan penolakannya atas praktik hukuman mati di Indonesia. Katanya, "Saya berkeyakinan bahwa orang lahir, ketemu jodohnya, meninggal, ditentukan oleh Allah. Jadi saya tidak mau, tidak berhak menentukan (hukuman mati)."[31] Soedomo, Menkopolkam RI ke-3, mendukung dihapuskannya hukuman mati karena tidak didasarkan pada Pancasila.[32] Todung Mulya Lubis berpendapat kalau "belum ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa hukuman mati memberikan efek jera".[31] Muhammad Hafiz, Pejabat Direktur Eksekutif Human Rights Working Group di Jakarta, menganggap bahwa eksekusi mati tanggal 29 Juli 2016 merupakan "bukti kemunduran rezim ini dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM)". Padahal, menurut Tri Agung Kristanto dari Kompas, Indonesia sangat menghargai HAM sejak reformasi tahun 1998, yang salah satunya ditandai dengan "memasukkan ketentuan terkait HAM" pada Pasal 28 UUD 1945.[32]

Sejumlah akademisi dari berbagai disiplin ilmu di dalam negeri tercatat mengemukakan penolakan secara terbuka terhadap eksekusi mati di Indonesia. Beberapa dari antara mereka misalnya Profesor Sulistyowati Irianto, Antonius Cahyadi dan Frans Supiarso dari Universitas Indonesia, Beni Juliawan dari Universitas Sanata Dharma, Robertus Robet dari Universitas Negeri Jakarta, serta Ahmad Sofian dari Universitas Bina Nusantara. Secara umum, para akademisi tersebut menyimpulkan kalau praktik hukuman mati tidak efektif untuk mengatasi kejahatan dan tidak memberikan "efek jera" yang diharapkan. Profesor Sulistyowati mengajak semua pihak untuk lebih memikirkan hak seseorang untuk hidup,[33] dan Frans berharap agar pemerintah "menempatkan belas kasih dan pengampunan di atas segalanya".[34]

Antonius dan Ahmad menyebutkan bahwa pelaksanaan hukuman mati merupakan sarana penyaluran "balas dendam" oleh negara tanpa menghasilkan dampak apapun pada korban kejahatan.[35][36] Dan karenanya, menurut Profesor Sulistyowati, praktik ini "mewariskan budaya balas dendam pada generasi penerus kita".[33] Ahmad juga menyampaikan kalau praktik ini telah dimanfaatkan oleh mereka yang memang ingin dihukum mati karena ideologi yang mereka anut.[35] Ahmad, Antonius, dan Robet, menegaskan kalau pelaksanaan hukuman mati lebih mengakomodir kepentingan politis daripada kepentingan korban dan hukum,[35][36] bahkan "digunakan sebagai instrumen sosial dan politik untuk memamerkan kekuasaan".[37] Bagi Robet dan Frans, praktik hukuman mati merupakan salah satu praktik dari zaman "purba" yang diterapkan oleh negara di zaman modern.[34][36]

Robet dan Beni berpendapat bahwa pelaksanaan hukuman mati di Indonesia hanya didasarkan pada hasil survei oleh beberapa lembaga,[34] yang hasilnya bahkan "tidak kredibel".[33] Beni mengklaim bahwa survei itu hanya dilakukan di 17 provinsi tetapi laporannya menyebutkan 33 provinsi, sehingga ia merasakan adanya kejanggalan.[33]

Tokoh-tokoh dari komunitas keagamaan turut menyatakan penolakannya atas praktik hukuman mati di Indonesia. Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Jimly Asshiddiqie menyampaikan agar praktik hukuman mati di Indonesia kelak dihapuskan, karena ia memandangnya tidak sesuai dengan sila pertama dan kedua Pancasila serta menghimbau "agar umat Islam di Indonesia tidak menafsirkan tradisi hukum pidana di Alquran dan hadis secara harfiah".[31] Ketua Syarikat Bantuan Hukum Komunitas Advokat Syariah Irfan Fahmi mengatakan, "Sikap seorang Muslim menolak perbudakan mestinya dibarengi pula dengan menolak hukuman mati. Karena hak hidup dan hak tidak diperbudak termasuk kualifikasi hak asasi manusia (HAM)."[38] Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia sekaligus Uskup Keuskupan Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo menegaskan penolakannya atas praktik hukuman mati karena terdapat potensi kesalahan dalam sistem hukum yang dibuat oleh manusia. Menurutnya, "Tidak ada sistem hukum yang sempurna. Dan kita semua tahu peradilan di manapun bisa sesat."[39] Hal senada disampaikan oleh Romo Franz Magnis Suseno, seorang budayawan dan rohaniwan Katolik, yang menyatakan bahwa "sistem yudisial kita belum terjamin kejujurannya. Jika seseorang mati dengan putusan lembaga yang belum terjamin, bagaimana itu[?]" Ia mengklaim bahwa pelaksanaan hukuman mati di Tiongkok tidak memberikan efek jera.[40] s

Liputan6.com, Jakarta Judi online menjadi fenomena yang semakin marak di Indonesia. Kemajuan teknologi serta akses internet yang mudah membuat praktik perjudian online semakin subur di berbagai kalangan. Mulai dari anak muda hingga orang dewasa, banyak yang tergoda untuk mencoba peruntungan dalam permainan ini.

Namun, perlu diketahui bahwa perjudian, baik secara langsung maupun online, merupakan tindakan yang melanggar hukum di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kegiatan ini masuk dalam kategori perbuatan yang dilarang dengan ancaman pidana berat. Tidak sedikit pula pelaku yang telah ditindak oleh aparat hukum dan dijatuhi hukuman sesuai peraturan yang berlaku.

Lantas, apa saja hukuman yang dapat dijatuhkan kepada para pelaku judi online? Simak penjelasan berikut untuk mengetahui rincian sanksi yang diterapkan berdasarkan UU ITE dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru.